Direktorat LPK Jawa Timur
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dirumuskan mengacu pada filosofi
pembangunan nasional Pancasila dan Dasar Negara. Undang-Undang Dasar 1945, dimana
pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum, melekat upaya yang bertujuan
memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia.
Pemerintah berkewajiban,
berlandaskan Undang-Undang Perlindungan Konsumen melakukan upaya pendidikan
serta pembinaan kepada konsumen, terutama mengingat masih rendahnya tingkat
kesadaran sebagaian besar masyarakat akan hak-haknya sebagai konsumen. Melalui
instrumen yang sama diharapkan tumbuhnya kesadaran pelaku usaha dalam
menjalankan prinsip-prinsip ekonomi dengan tetap menjunjung hal-hal yang patut
menjadi hak konsumen.
Piranti hukum Perlindungan Konsumen
dimaksudkan untuk melindungi konsumen dan tidak untuk mematikan usaha para
pelaku bisnis. Perlindungan konsumen justru membangun iklim usaha yang sehat
yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang/jasa yang berkualitas dan berdaya saing. Lebih dari
itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dalam pelaksanaanya memberikan
perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah, yang masih menjadi
roda perekonomian nasional.
Fungsi Lembaga Perbankan
Fungsi lembaga perbankan sebagai perantara pihak-pihak
yang memiliki kelebihan dana dengan pihak-pihak yang memerlukan dana membawa
konsekuensi pada timbulnya interaksi yang intensif antara bank sebagai pelaku
usaha dengan nasabah sebagai konsumen pengguna jasa perbankan. Dari sisi pihak
yang memiliki kelebihan dana, interaksi dengan bank terjadi pada saat pihak
yang kelebihan dana tersebut menyimpan dananya pada bank dalam bentuk giro,
tabungan, deposito, sementara dari sisi pihak yang memerlukan dana interaksi
terjadi pada saat pihak yang memerlukan dana tersebut meminjam dana dari bank
guna keperluan tertentu. Interaksi antara bank dengan konsumen pengguna jasa
perbankan (selanjutnya disebut dengan nasabah) dapat pula mengambil bentuk lain pada saat nasabah melakukan
transaksi jasa perbankan selain penyimpanan dan peminjaman dana. Bentuk
transaksi lain tersebut seperti misalnya jasa transfer dana, inkaso, maupun
safe deposit. Dalam perkembangannya, nasabah pun dapat memanfaatkan jasa bank
untuk mendapatkan produk lembaga keuangan
bukan bank, seperti produk asuransi yang dikaitkan dengan produk bank (bancassurance) dan reksadana.
Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah di atas, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu (i) informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank, (ii) pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang, (iii) ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana, dan (iv) tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv) industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi) perlindungan nasabah. (direktur Eksekutif LPK Jawa Timur)
bukan bank, seperti produk asuransi yang dikaitkan dengan produk bank (bancassurance) dan reksadana.
Dalam interaksi yang demikian intensif antara bank dengan nasabah di atas, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila terjadi friksi yang apabila tidak segera diselesaikan dapat berubah menjadi sengketa antara nasabah dengan bank. Dari berbagai pengalaman yang ada, timbulnya friksi tersebut terutama disebabkan oleh empat hal yaitu (i) informasi yang kurang memadai mengenai karakteristik produk atau jasa yang ditawarkan bank, (ii) pemahaman nasabah terhadap aktivitas dan produk atau jasa perbankan yang masih kurang, (iii) ketimpangan hubungan antara nasabah dengan bank, khususnya bagi nasabah peminjam dana, dan (iv) tidak adanya saluran yang memadai untuk memfasilitasi penyelesaian awal friksi yang terjadi antara nasabah dengan bank.
Untuk menyikapi permasalahan tersebut, maka Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas industri perbankan berkepentingan untuk meningkatkan perlindungan terhadap kepentingan nasabah dalam berhubungan dengan bank. Mengingat pentingnya permasalahan tersebut, Bank Indonesia telah menetapkan upaya perlindungan nasabah sebagai salah satu pilar dalam
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan oleh Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004. API sendiri merupakan suatu cetak biru sistem perbankan nasional yang terdiri dari enam pilar untuk mewujudkan visi sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Enam pilar dalam API adalah (i) struktur perbankan yang sehat, (ii) sistem pengaturan yang efektif, (iii) sistem pengawasan yang independen dan efektif, (iv) industri perbankan yang kuat, (v) infrastruktur yang mencukupi, dan (vi) perlindungan nasabah. (direktur Eksekutif LPK Jawa Timur)