• LPK Jatim Segera Somasi Bank BTN Sidoarjo
SURABAYA –
Kendati persoalan kliennya dengan PT Ganda Prima Perkasa (GPP) terkait
kepemilikan rumah di Perum Millenium Green Puspa Asri (MGPA) sudah
terselesaikan, namun Lembaga Perlindungan Konsumen (LPK) Jawa Timur
segera mensomasi Bank Tabungan Negara (Bank BTN) cabang Sidoarjo.
Pasalnya, terbitnya dua lembar Surat Penegasan Persetujuan Penyediaan
Kredit (SP3K) atas kredit perumahan rakyat (KPR) dari Bank BTN cabang
Sidoarjo, dianggap LPK Jatim menyesatkan dan merugikan konsumen.
LPK Jatim menilai ada keganjilan atas terbitnya dua SP3K dengan
rangkaian nomer surat yang sama tetapi berbeda waktu penerbitan dan isi
suratnya. Menurut Direktur Eksekutif LPK Jatim, Achmadi MS, hal ini
merupakan suatu persoalan baru yang layak disikapi.
Achmadi berpendapat, kesamaan dalam pencantuman rangkaian nomer kode
surat dalam SP3K yakni e0055/00062/SP3K/VIII/2012 tertanggal 6 Agustus
2012 dan tertanggal 11 Maret 2014 diduga ada permainan dari pihak bank
pemberi KPR. “Dasarnya apa Bank BTN mengeluarkan SP3K kedua dengan nomer
surat sama persis dengan SP3K yang pertama. Padahal, SP3K kedua
diterbitkan pada tanggal/bulan/tahun saat ini,” sergahnya kepada
Surabaya Metro dikantor LPK Jatim, Rabu (30/4/2014).
Sementara itu, analisa Direktur I Bidang Litbang-Huminves LPK Jatim,
Jiston Sitinjak, bahwa Nomer SP3K dari Bank BTN yakni
e0055/00062/SP3K/VIII/2012, cocok untuk terbitan SP3K tertanggal 6
Agustus 2012. Karena diterbitkannya pada bulan Agustus 2012 dengan dasar
surat pesanan rumah (SPR) dari PT GPP atas nama kliennya pada tanggal
21 Oktober 2010. Sedangkan SP3K kedua diterbitkan tanggal 11 Maret 2014
memiliki nomer SP3K yang sama persis dengan SP3K terbitan pertama (6
Agustus 2012), padahal SPR nya tertanggal 21 Juni 2013.
Menurut Jiston, jika Bank BTN mengatakan itu merupakan sistem, maka
kwalitas dan keakuratan keadministrasian bank KPR ini layak
dipertanyakan, karena dapat menyesatkan konsumen. “Apabila seperti
dikatakan oleh pihak bank itu merupakan sistem perbankan, maka sistem
seperti itu bisa merugikan semua konsumen/debitur Bank BTN selaku bank
yang ditunjuk oleh pemerintah soal KPR. Jika surat pesanan (SPR) yang
baru, jadi dasar keluarnya SP3K tertanggal 11 Maret 2014, maka
seharusnya nomer suratnya berbeda, atau nomer surat tetap sama tapi kode
bulan/tahun dalam rangkaian nomer surat harus berbeda disesuaikan
dengan tanggal diterbitkannya SP3K. Atas tindakan bank BTN tersebut,
maka diduga ada kongkalikong antara bank dengan developer,” jlentrehnya.
Pemberitaan Surabaya Metro sebelumnya, diketahui terdapat dua lembar
SP3K dari Bank BTN dengan nomor, kode surat serta kode bulan/tahun yang
sama, tapi dengan isi surat dan tanggal/bulan/tahun penerbitan berbeda.
Disebutkan dalam SP3K pertama (6 Agustus 2012), calon pembeli rumah
Perum MGPA mendapat maksimum kredit sebesar Rp 48,9 juta, dengan
angsuran sebesar Rp 621.100 per bulan selama 120 bulan.
Sedangkan SP3K kedua (11 Maret 2014) disebutkan, calon pembeli rumah
mendapat maksimum kredit sebesar Rp 72 Juta, dengan angsuran sebesar Rp
864.200 per bulan selama 120 bulan. Dasar diterbitkannya SP3K pertama
karena adanya surat pemesanan rumah (SPR) tertanggal 21 Oktober 2010,
dan SP3K kedua diterbitkan atas dasar SPR tanggal 21 Juni 2013.
Terkait itu, pada pemberitaan sebelumnya, Dwi Satmoko selaku
Mortgage and Consumer Lending Unit Head Bank BTN cabang Sidoarjo
menjelaskan soal kesamaan nomer SP3K, dan berbedanya waktu penerbitannya
merupakan sistem. “Ya memang nomer suratnya (SP3K) harus sama, cuma
waktu penerbitan suratnya yang harus berbeda. Itu semua adalah sistem
kearsipan (surat)/keadministrasian di Bank BTN yang tidak bisa dirubah,”
tegas Dwi via telepon kepada Surabaya Metro, Jum’at (11/4/2014) pukul
09.25 wib.
Lanjut Dwi Satmoko,“Nomer SP3K itu sudah tetap bagi
pengajuan atas Abdul Rozik atas dasar surat pesanan rumah dari PT GPP,
itu tidak bisa berubah sampai kapanpun. Walau nomer surat sama, tapi isi
dan tanggal/bulan/tahun penerbitan surat berbeda. Kecuali ada
penolakan, dan ada pengajuan baru lagi atas nama yang sama, ya nomer
surat (SP3K) nya juga berbeda. Sekali lagi itu adalah sistem yang tidak
bisa dirubah,” jlentrehnya kepada Surabaya Metro via telepon.
Menurut Achmadi MS, walaupun kliennya sudah memiliki rumah dengan
pembayaran cash (tanpa KPR) sesuai harga lama seperti yang disepakati
pada SPR pertama, namun ini merupakan imbas dari pergantian managemen di
internal PT GPP dan tentunya dampak SP3K dari Bank BTN. “Tindakan
melunasi rumah dengan harga lama merupakan tindakan tepat dari LPK Jatim
untuk klien kami. Namun demikian, untuk mendapatkan uang sebesar itu
dalam waktu 1 minggu, klien kami nabrak sana sini cari pinjaman,”
ungkapnya.
Lanjutnya, “Karena perlu diingat, sebelumnya klien kami ingin
memiliki rumah di Perum MGPA dengan cara subsidi KPR. Tapi dengan adanya
persoalan ini, boleh dikatakan klien kami dirugikan. Itu semua karena
ulah PT GPP dan Bank BTN, maka dari itu kami akan menempuh jalur hukum
sesuai dengan UU Nomor 8/1999 tentang perlindungan konsumen. Dan ini
merupakan keseriusan kami dalam penegakkan hukum, agar tidak ada lagi
para konsumen calon pembeli/pemilik rumah dirugikan developer maupun
Bank pemberi KPR,” tegas Achmadi. (mhd)