TENTANG
IZIN
DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI
KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
perlu mengatur Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan;
b. bahwa dalam rangka menyelaraskan
kewenangan bidan dengan tugas pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan yang merata, perlu merevisi Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/149/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan kembali
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan.
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
7. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 439/Menkes/Per/VI/2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan;
8. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan;
9. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 938/Menkes/SK/VIII/2007 tentang Standar Asuhan Kebidanan;
10. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 161/Menkes/Per/I/2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI
KESEHATAN TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN
BAB
I
KETENTUAN
UMUM
Pasal
1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bidan adalah seorang perempuan
yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai
ketentuan peraturan
perundangan-undangan.
2. Fasilitas pelayanan kesehatan
adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif, yang dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah dan/atau
masyarakat.
3. Surat Tanda Registrasi,
selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah
kepada tenaga kesehatan yang
diregistrasi setelah memiliki sertifikat kompetensi.
4. Surat Izin Kerja Bidan,
selanjutnya disingkat SIKB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada Bidan
yang sudah memenuhi persyaratan untuk bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
5. Surat Izin Praktik Bidan,
selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis yang diberikan kepada
Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk menjalankan praktik bidan
mandiri.
6. Standar adalah pedoman yang
harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan profesi
yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar operasional
prosedur.
7. Praktik mandiri adalah praktik
bidan swasta perorangan.
8. Organisasi profesi adalah Ikatan
Bidan Indonesia (IBI).
BAB
II
PERIZINAN
Pasal
2
(1) Bidan dapat menjalankan praktik
mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.
(2) Bidan yang menjalankan praktik
mandiri harus berpendidikan minimal Diploma III (D III) Kebidanan.
Pasal
3
(1) Setiap bidan yang bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan wajib memiliki SIKB.
(2) Setiap bidan yang menjalankan
praktik mandiri wajib memiliki SIPB.
(3) SIKB atau SIPB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) tempat.
Pasal
4
(1) Untuk memperoleh SIKB/SIPB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Bidan harus mengajukan permohonan
kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan melampirkan:
a. fotocopy STR yang masih berlaku
dan dilegalisasi;
b. surat keterangan sehat fisik
dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
c. surat pernyataan memiliki tempat
kerja di fasilitas pelayanan kesehatan atau tempat praktik;
d. pas foto berwarna terbaru ukuran
4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
e. rekomendasi dari kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk; dan
f. rekomendasi dari organisasi
profesi.
(2) Kewajiban memiliki STR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Apabila belum terbentuk Majelis
Tenaga Kesehatan Indonesia (MTKI), Majelis Tenaga Kesehatan
Provinsi (MTKP) dan/atau proses STR belum dapat dilaksanakan, maka Surat
Izin Bidan ditetapkan berlaku sebagai STR.
(4) Contoh surat permohonan
memperoleh SIKB/SIPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Formulir I terlampir.
(5) Contoh SIKB sebagaimana
tercantum dalam Formulir II terlampir
(6) Contoh SIPB sebagaimana
tercantum dalam Formulir III terlampir.
Pasal
5
(1) SIKB/SIPB dikeluarkan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam hal SIKB/SIPB dikeluarkan
oleh dinas kesehatan kabupaten/kota maka persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf e tidak diperlukan.
(3) Permohonan SIKB/SIPB yang
disetujui atau ditolak harus disampaikan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota atau dinas kesehatan kabupaten/kota kepada pemohon dalam
waktu selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima.
Pasal
6
Bidan hanya dapat menjalankan
praktik dan/atau kerja paling banyak di 1 (satu) tempat kerja dan 1 (satu)
tempat praktik.
Pasal
7
(1) SIKB/SIPB berlaku selama STR
masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa berlakunya.
(2) Pembaharuan SIKB/SIPB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pemerintah
daerah kabupaten/kota setempat dengan melampirkan:
a. fotokopi SIKB/SIPB yang lama;
b. fotokopi STR;
c. surat keterangan sehat fisik
dari dokter yang memiliki Surat Izin Praktik;
d. pas foto berwarna terbaru ukuran
4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
e. rekomendasi dari kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang ditunjuk sesuai ketentuan Pasal
4 ayat (1) huruf e; dan
f. rekomendasi dari organisasi
profesi.
Pasal
8
SIKB/SIPB dinyatakan tidak berlaku
karena:
a. tempat kerja/praktik tidak
sesuai lagi dengan SIKB/SIPB.
b. masa berlakunya habis dan tidak
diperpanjang.
c. dicabut oleh pejabat yang berwenang
memberikan izin.
BAB
III
PENYELENGGARAAN
PRAKTIK
Pasal
9
Bidan dalam menjalankan praktik,
berwenang untuk memberikan pelayanan yang meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. pelayanan kesehatan anak; dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi
perempuan dan keluarga berencana.
Pasal
10
(1) Pelayanan kesehatan ibu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a diberikan pada masa pra
hamil, kehamilan, masa persalinan, masa nifas, masa menyusui dan masa
antara dua kehamilan.
(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pelayanan konseling pada masa
pra hamil;
b. pelayanan antenatal pada
kehamilan normal;
c. pelayanan persalinan normal;
d. pelayanan ibu nifas normal;
e. pelayanan ibu menyusui; dan
f. pelayanan konseling pada masa antara
dua kehamilan.
(3) Bidan dalam memberikan
pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang untuk:
a. episiotomi;
b. penjahitan luka jalan lahir
tingkat I dan II;
c. penanganan kegawat-daruratan,
dilanjutkan dengan perujukan;
d. pemberian tablet Fe pada ibu
hamil;
e. pemberian vitamin A dosis tinggi
pada ibu nifas;
f. fasilitasi/bimbingan inisiasi
menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;
g. pemberian uterotonika pada
manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
h. penyuluhan dan konseling;
i. bimbingan pada kelompok ibu
hamil;
j. pemberian surat keterangan
kematian; dan
k. pemberian surat keterangan cuti
bersalin.
Pasal
11
(1) Pelayanan kesehatan anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b diberikan pada bayi baru lahir,
bayi, anak balita, dan anak pra sekolah.
(2) Bidan dalam memberikan
pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan asuhan bayi baru lahir
normal termasuk resusitasi, pencegahan hipotermi, inisiasi menyusu dini,
injeksi Vitamin K 1, perawatan bayi baru lahir pada masa neonatal (0 – 28
hari), dan perawatan tali pusat;
b. penanganan hipotermi pada bayi
baru lahir dan segera merujuk;
c. penanganan kegawat-daruratan,
dilanjutkan dengan perujukan;
d. pemberian imunisasi rutin sesuai
program pemerintah;
e. pemantauan tumbuh kembang bayi,
anak balita dan anak pra sekolah;
f. pemberian konseling dan
penyuluhan;
g. pemberian surat keterangan
kelahiran; dan
h. pemberian surat keterangan
kematian.
Pasal
12
Bidan dalam memberikan pelayanan kesehatan
reproduksi perempuan dan keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
huruf c, berwenang untuk:
a. memberikan penyuluhan dan
konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana; dan
b. memberikan alat kontrasepsi oral
dan kondom.
Pasal
13
(1) Selain kewenangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, Bidan yang menjalankan
program Pemerintah berwenang melakukan pelayanan kesehatan meliputi:
a. pemberian alat kontrasepsi
suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim, dan memberikan pelayanan
alat kontrasepsi bawah kulit;
b. asuhan antenatal terintegrasi
dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu dilakukan di bawah supervisi
dokter;
c. penanganan bayi dan anak balita
sakit sesuai pedoman yang ditetapkan;
d. melakukan pembinaan peran serta
masyarakat di bidang kesehatan ibu dan anak, anak usia sekolah dan remaja,
dan penyehatan lingkungan;
e. pemantauan tumbuh kembang bayi,
anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah;
f. melaksanakan pelayanan kebidanan
komunitas;
g. melaksanakan deteksi dini,
merujuk dan memberikan penyuluhan terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS)
termasuk pemberian kondom, dan penyakit lainnya;
h. pencegahan penyalahgunaan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) melalui informasi dan
edukasi; dan
i. pelayanan kesehatan lain yang
merupakan program Pemerintah.
(2) Pelayanan alat kontrasepsi
bawah kulit, asuhan antenatal terintegrasi, penanganan bayi dan anak balita
sakit, dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk, dan memberikan penyuluhan
terhadap Infeksi Menular Seksual (IMS) dan penyakit lainnya, serta pencegahan
penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) hanya
dapat dilakukan oleh bidan yang dilatih untuk itu.
Pasal
14
(1) Bagi bidan yang menjalankan praktik
di daerah yang tidak memiliki dokter, dapat melakukan pelayanan kesehatan di
luar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
(2) Daerah yang tidak memiliki
dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kecamatan
atau kelurahan/desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota.
(3) Dalam hal daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) telah terdapat dokter, kewenangan bidan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku.
Pasal
15
(1) Pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota menugaskan bidan praktik mandiri tertentu
untuk melaksanakan program Pemerintah.
(2) Bidan praktik mandiri yang
ditugaskan sebagai pelaksana program pemerintah berhak atas pelatihan dan
pembinaan dari pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota.
Pasal
16
(1) Pada daerah yang belum memiliki
dokter, Pemerintah dan pemerintah daerah harus menempatkan bidan dengan
pendidikan minimal Diploma III Kebidanan.
(2) Apabila tidak terdapat tenaga
bidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan pemerintah daerah dapat
menempatkan bidan yang telah mengikuti pelatihan.
(3) Pemerintah daerah
provinsi/kabupaten/kota bertanggung jawab menyelenggarakan pelatihan bagi bidan
yang memberikan pelayanan di daerah yang tidak memiliki dokter.
Pasal
17
(1) Bidan dalam menjalankan praktik
mandiri harus memenuhi persyaratan meliputi:
a. memiliki tempat praktik, ruangan
praktik dan peralatan untuk tindakan asuhan kebidanan, serta peralatan
untuk menunjang pelayanan kesehatan bayi, anak balita dan prasekolah yang
memenuhi persyaratan lingkungan sehat;
b. menyediakan maksimal 2 (dua)
tempat tidur untuk persalinan; dan
c. memiliki sarana, peralatan dan
obat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(2) Ketentuan persyaratan tempat
praktik dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
Pasal
18
(1) Dalam melaksanakan
praktik/kerja, bidan berkewajiban untuk:
a. menghormati hak pasien;
b. memberikan informasi tentang
masalah kesehatan pasien dan pelayanan yang dibutuhkan;
c. merujuk kasus yang bukan kewenangannya
atau tidak dapat ditangani dengan tepat waktu;
d. meminta persetujuan tindakan
yang akan dilakukan;
e. menyimpan rahasia pasien sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan;
f. melakukan pencatatan asuhan
kebidanan dan pelayanan lainnya secara sistematis;
g. mematuhi standar ; dan
h. melakukan pencatatan dan
pelaporan penyelenggaraan praktik kebidanan termasuk pelaporan kelahiran
dan kematian.
(2) Bidan dalam menjalankan
praktik/kerja senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan
mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan
pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya.
(3) Bidan dalam menjalankan praktik
kebidanan harus membantu program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat.
Pasal
19
Dalam melaksanakan praktik/kerja,
bidan mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum
dalam melaksanakan praktik/kerja sepanjang sesuai dengan standar;
b. memperoleh informasi yang
lengkap dan benar dari pasien dan/atau keluarganya;
c. melaksanakan tugas sesuai dengan
kewenangan dan standar; dan
d. menerima imbalan jasa profesi.
BAB
IV
PENCATATAN
DAN PELAPORAN
Pasal
20
(1) Dalam melakukan tugasnya bidan
wajib melakukan pencatatan dan pelaporan sesuai dengan pelayanan yang
diberikan.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditujukan ke Puskesmas wilayah tempat praktik.
(3) Dikecualikan dari ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk bidan yang bekerja di fasilitas
pelayanan kesehatan.
BAB
V
PEMBINAAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
21
(1) Menteri, Pemerintah Daerah
Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan
dengan mengikutsertakan Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia, Majelis Tenaga
Kesehatan Provinsi, organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan yang bersangkutan.
(2) Pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu pelayanan,
keselamatan pasien dan melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang
dapat menimbulkan bahaya bagi kesehatan.
(3) Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota harus melaksanakan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan
praktik bidan.
(4) Dalam pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
harus membuat pemetaan tenaga bidan praktik mandiri dan bidan di desa
serta menetapkan dokter puskesmas terdekat untuk pelaksanaan tugas
supervisi terhadap bidan di wilayah tersebut.
Pasal
22
Pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan wajib melaporkan bidan yang bekerja dan yang berhenti bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatannya pada tiap triwulan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada organisasi profesi.
Pasal
23
(1) Dalam rangka pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Menteri, pemerintah daerah
provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dapat memberikan tindakan
administratif kepada bidan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
penyelenggaraan praktik dalam Peraturan ini.
(2) Tindakan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan SIKB/SIPB untuk
sementara paling lama 1 (satu) tahun; atau
d. pencabutan SIKB/SIPB selamanya.
Pasal
24
(1) Pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat memberikan sanksi berupa rekomendasi pencabutan surat izin/STR
kepada kepala dinas kesehatan provinsi/Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia
(MTKI) terhadap Bidan yang melakukan praktik tanpa memiliki SIPB atau
kerja tanpa memiliki SIKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan
ayat (2).
(2) Pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi teguran lisan, teguran tertulis sampai
dengan pencabutan izin fasilitas pelayanan kesehatan sementara/tetap kepada
pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan yang mempekerjakan bidan yang tidak
mempunyai SIKB.
BAB
VI
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
25
(1) Bidan yang telah mempunyai SIPB
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002
tentang Registrasi dan Praktik Bidan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
HK.02.02/Menkes/149/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan
dinyatakan telah memiliki SIPB berdasarkan Peraturan ini sampai dengan
masa berlakunya berakhir.
(2) Bidan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memperbaharui SIPB apabila Surat Izin Bidan yang bersangkutan
telah habis jangka waktunya, berdasarkan Peraturan ini.
Pasal
26
Apabila Majelis Tenaga Kesehatan
Indonesia (MTKI) dan Majelis Tenaga Kesehatan Provinsi (MTKP) belum dibentuk
dan/atau belum dapat melaksanakan tugasnya maka registrasi bidan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik Bidan.
Pasal
27
Bidan yang telah melaksanakan kerja
di fasilitas pelayanan kesehatan sebelum ditetapkan Peraturan ini harus
memiliki SIKB berdasarkan Peraturan ini paling selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun sejak Peraturan ini ditetapkan.
Pasal
28
Bidan yang berpendidikan di bawah
Diploma III (D III) Kebidanan yang menjalankan praktik mandiri
harus menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan ini selambat-lambatnya 5
(lima) tahun sejak Peraturan ini ditetapkan.
BAB
VII
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
29
Pada saat Peraturan ini mulai
berlaku:
a. Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi dan Praktik
Bidan sepanjang yang berkaitan dengan perizinan dan praktik bidan; dan
b. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor HK.02.02/Menkes/149/1/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik
Bidan;
dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
30
Peraturan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 4 Oktober 2010
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA,
Ttd.
ENDANG RAHAYU SEDYANINGSIH