SURABAYA - Pada hakikatnya tiap lembaga / perusahaan perbankan maupun pembiayaan ( leasing ) mempunyai staf karyawan bagian juru tagih yang dalam sruktur organisasi biasanya masuk ke dalam bagian recovery risk / collection head.
Terlebih, para staf tersebut adalah orang berpendidikan dan takut untuk melakukan hal-hal yang menyerempet / melanggar hukum, sehingga target yang diembannya sering kali meleset dari yang diberikan atasannya.
Bila ada kendala, mereka akan meminta persetujuan atasannya guna menunjuk pengacara untuk meneruskan tugasnya dengan cara menempuh jalur hukum, yakni, melayangkan gugatan atau somasi.
Dan ketika ada nasabah / debitor mengalami masalah pembayaran , maka yang bertugas menagih adalah juru tagih perusahaan sendiri.
Kenyataannya, saat ini marak terjadi, lembaga keuangan ini menyewa orang luar ( out sourcing ) untuk menangani masalahnya.
Alasannya demi efisiensi, yaitu tidak perlu mengeluarkan biaya lebih dulu untuk “ mengurus “ para debitor yang terlambat melakukan pembayaran kreditnya. Para debt collector baru akan menerima uang jasa (komisi ) bilamana tugasnya berhasil, meski berisiko dia harus masuk penjara.
Apalagi di Surabaya, para debt collector bisa mendirikan perusahaan ( menjadi sebuah badan ) hukum dan mendapat Surat Ijin Usaha Perdagangan ( SIUP ) yang dikeluarkan Dinas Perdagangan. Di dalam SIUP memang dicantumkan salah satu jenis usahanya adalah jasa, namun bukan jasa penagihan.
Karena jasa penagihan merupakan wewenag pengacara / advokat sebagaimana diatur dalam UU tentang Advokat, tetapi bagi orang awam ( bahkan oleh sebagian aparat kepolisian ) yang tidak mengerti, jasa tersebut adalah sah, padahal tidak.! Sehingga bisa dikatakan tindakan debt collector menyalahgunakan SIUP dimaksud.
Oknum Polisi Jadi debt collector
Permasalahannya, polisi pun setali tiga uang dengan debt collector. tidak hanya mendukung aksi-aksi premanisme, namun juga menjadi bagian dari aksi premanisme itu sendiri.
Banyak kasus diketahui bahwa oknum polisi juga menjadi debt collector, bahkan di saat jam dinasnya. Banyak sekali terjadi apabila masyarakat melaporkan tentang perlakuan intimidasi para debt collector maupun polisi yang menjadi debt collector, maka kasusnya tidak dapat dilanjutkan, dengan dalih debitor telah menyetujui perjanjian jual-beli, padahal itu adalah tindakan kriminalitas.
Dari segi hukum menyangkut pinjam-meminjam, itu termasuk lingkup perdata, dan yang berhak mengeksekusi adalah juru sita pengadilan setempat. tindakan di luar itu adalah melanggar hukum dan besar kemungkinan merupakan tindak pidana yang seharusnya disikapi secara tegas oleh aparat kepolisian bila terdapat pengaduan / laporan di Sentra Pelayanan Kepolisian ( SPK ). Namun bila pelakunya adalah polisi yang merangkap sebagai debt collector ( terlebih bila masih berbaju dinas ), maka laporkan saja ke Unit P3D yang ada di tiap Mapolres, atau Bidang Profesi dan Pengamanan ( Propam ) Mapolda setempat.
Bila hal seperti itu terjadi, masyarakat tidak perlu takut untuk melaporkannya ke Sentra Pelayanan Kepolisian. Bila menemui kendala, laporkan saja langsung ke Bidang Propam yang ada di tiap Mapolda, dan bila laporan tak kunjung ditindak lanjuti, masyarakat tidak perlu ragu berkirim surat ke Kepala Kepolisian atau Kasat Reskrim yang berada di setingkat Polres.
Kesalahan Pada Leasing/ finance
Sebenarnya, tiap lembaga keuangan tidak memiliki wewenang mengeluarkan surat tugas kepada debt collector ( atau siapa pun yang semakna ) untuk menagih / menarik kendaraan / barang debitor sewaktu menandatangani surat pengajuan pinjaman / pembiayaan.
Adapun yang berwenang melakukannya, sekali lagi, adalah juru sita Pengadilan setempat setelah keluarnya Surat Penetapan Eksekusi oleh Ketua Pengadilan. Jadi, semua tindakan di luar jalur hukum tersebut adalah perbuatan pidana yang harus segera ditindak tegas pihak yang berwajib. Sebab jika tidak segera di tangani, dikhawatirkan bakal menjadi sindikat premanisme yang semakin menjadi-jadi di kemudian hari.
Menerut Ketua Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Jawa Timur (LPKN) , Drs. Achmadi MS, kesalahan utama tiap lembaga keuangan / pembiayaan terjadi pertama kali pada staf marketing atau sales-nya, apalagi masa kerja para staf tersebut bersifat kontrak yang masa kerjanya sementara ( kontemporer ).
“ Kesahan pertama kali terletak pada para staf marketing atau surveyor-nya yang bertugas di lapangan, dengan tidak mengindahkan prinsip mengenal nasabah.“, tegas Achmadi.
Itu bisa diketahui saat berlangsungnya acara pameran. Ketika itu para marketing atau sales gencar memberikan penawaran kredit kepada setiap pengunjung tanpa mengetahui akibat yang terjadi dikemudian hari.
“ Coba saja di cek saat ada pameran “. Saat menawarkan kredit pada pengunjung, mereka tidak pernah menjelaskan apa yang akan terjadi dikemudian hari. Yang penting ada pengunjung yang mau ambil kredit dan mereka mendapat komisi atau bonus. Urusan selesai.
Celakanya beberapa bulan kemudian ketika pengambil kredit menemui masalah, posisi para staf marketing atau sales ini sudah tidak bekerja lagi di sana, karena biasanya cuma staf kontrak.
Atau ironisnya hanya bekerja selama pameran berlangsung. Selebihnya lepas tanggung jawab,” paparnya, lebih jauh.(*)