TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA
ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan ke
peradilan umum juga terbuka kemungkinan diajukan melalui arbitrase dan
alternatif penyelesaian sengketa;
b. bahwa peraturan perundang-undangan yang kini
berlaku untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum pada umumnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan b, perlu membentuk Undang-undang tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG
ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu
sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2. Para pihak adalah subyek hukum, baik menurut
hukum perdata maupun hukum publik.
3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan
berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian
arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
4. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon.
5. Pemohon adalah pihak yang mengajukan
permohonan penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
6. Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
7. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri
atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa
tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.
8. Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih
oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang
mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
9. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan
yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di
luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga
arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik
Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional.
10. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 2
Undang-undang ini mengatur penyelesaian sengketa
atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang
telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan
hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif
penyelesaian sengketa.
Pasal 3
Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian
arbitrase.
Pasal 4
(1) Dalam hal para pihak telah menyetujui
bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase dan
para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter berwenang menentukan
dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika hal ini tidak
diatur dalam perjanjian mereka.
(2) Persetujuan untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat
dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
(3) Dalam hal disepakati penyelesaian
sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka
pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk
sarana komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan
oleh para pihak.
Pasal 5
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak
yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya
oleh pihak yang bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
BAB II
ALTERNATIF PENYELESAIAN
SENGKETA
Pasal 6
(1) Sengketa atau beda pendapat perdata
dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam
suatu kesepakatan tertulis.
(3) Dalam hal sengketa atau beda
pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan,
maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
(4) Apabila para pihak tersebut dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih
penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai
kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah
pihak, maka para pihak dapat
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.
(5) Setelah penunjukan mediator oleh lembaga
arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
(6) Usaha penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui mediator sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh ) hari
harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh
semua pihak yang terkait.
(7) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat para pihak
untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di
Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
penandatanganan.
(8) Kesepakatan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 ( tiga puluh) hari sejak
pendaftaran.
(9) Apabila usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (6) tidak dapat dicapai, maka
para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha
penyelesaiannya melalui lembaga arbitrase atau arbitrase ad–hoc.
BAB III
SYARAT ARBITRASE,
PENGANGKATAN ARBITER, DAN HAK INGKAR
Bagian
Pertama Syarat Arbitrase
Pertama Syarat Arbitrase
Pasal 7
Para pihak dapat menyetujui suatu sengketa
yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan
melalui arbitrase.
Pasal 8
(1) Dalam hal timbul sengketa, pemohon
harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimili, e-mail
atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase
yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.
(2) Surat pemberitahuan untuk mengadakan
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat dengan jelas :
a. nama dan alamat para pihak;
b. penunjukan kepada klausula atau
perjanjian arbitrase yang berlaku;
c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa;
d. dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut,
apabila ada;
e. cara penyelesaian yang dikehendaki; dan
f. perjanjian yang diadakan oleh para pihak
tentang jumlah arbiter atau apabila tidak pernah diadakan perjanjian
semacam itu, pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang
dikehendaki dalam jumlah ganjil.
Pasal 9
(1) Dalam hal para pihak memilih
penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi,
persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian
tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat
menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus memuat :
a. masalah yang dipersengketakan;
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter
atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase
akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang
bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat
hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) batal demi hukum.
Pasal 10
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi
batal disebabkan oleh keadaan tersebut di bawah ini :
a. meninggalnya salah satu pihak;
b. bangkrutnya salah satu pihak;
c. novasi;
d. insolvensi salah satu pihak;
e. pewarisan;
f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan
pokok;
g. bilamana pelaksanaan perjanjian
tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang
melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau
h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Pasal 11
(1) Adanya suatu perjanjian arbitrase
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
(2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan
tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu
yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Bagian
Kedua Syarat Pengangkatan Arbiter
Kedua Syarat Pengangkatan Arbiter
Pasal 12
(1) Yang dapat ditunjuk atau diangkat sebagai
arbiter harus memenuhi syarat :
a. cakap melakukan tindakan hukum;
b. berumur paling rendah 35 tahun;
c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa;
d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau
kepentingan lain atas putusan arbitrase;
dan
dan
e. memiliki pengalaman serta menguasai secara
aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun.
(2) Hakim, jaksa, panitera dan pejabat
peradilan lainnya tidak dapat ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter.
Pasal 13
(1) Dalam hal para pihak tidak dapat
mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan
yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri
menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.
(2) Dalam suatu arbitrase ad–hoc bagi
setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter,
para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri
untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa
para pihak.
Pasal 14
(1) Dalam hal para pihak telah bersepakat
bahwa sengketa yang timbul akan diperiksa dan diputus oleh arbiter
tunggal, para pihak wajib untuk mencapai suatu kesepakatan tentang
pengangkatan arbiter tunggal.
(2) Pemohon dengan surat tercatat,
telegram, teleks, faksimili, e-mail atau dengan buku ekspedisi
harus mengusulkan kepada pihak termohon nama orang yang dapat diangkat
sebagai arbiter tunggal.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari setelah termohon menerima usul pemohon sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) para pihak tidak berhasil menentukan arbiter
tunggal, atas permohonan dari salah satu pihak, Ketua Pengadilan Negeri
dapat mengangkat arbiter tunggal.
(4) Ketua Pengadilan Negeri akan mengangkat
arbiter tunggal berdasarkan daftar nama yang disampaikan oleh para pihak,
atau yang diperoleh dari organisasi atau lembaga arbitrase sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34, dengan memperhatikan baik rekomendasi maupun
keberatan yang diajukan oleh para pihak terhadap orang yang bersangkutan.
Pasal 15
(1) Penunjukan dua orang arbiter oleh para
pihak memberi wewenang kepada dua arbiter tersebut untuk memilih dan
menunjuk arbiter yang ketiga.
(2) Arbiter ketiga sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diangkat sebagai ketua majelis arbitrase.
(3) Apabila dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah pemberitahuan diterima oleh termohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dan salah satu pihak ternyata tidak
menunjuk seseorang yang akan menjadi anggota majelis arbitrase, arbiter
yang ditunjuk oleh pihak lainnya akan bertindak sebagai arbiter tunggal
dan putusannya mengikat kedua belah pihak.
(4) Dalam hal kedua arbiter yang telah
ditunjuk masing-masing pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berhasil menunjuk arbiter ketiga dalam waktu paling lama 14 (empat belas)
hari setelah arbiter yang terakhir ditunjuk, atas permohonan salah satu
pihak, Ketua Pengadilan Negeri dapat mengangkat arbiter ketiga.
(5) Terhadap pengangkatan arbiter yang
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat
(4), tidak dapat diajukan upaya pembatalan.
Pasal 16
(1) Arbiter yang ditunjuk atau diangkat
dapat menerima atau menolak penunjukan atau pengangkatan tersebut.
(2) Penerimaan atau penolakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), wajib diberitahukan secara tertulis kepada para
pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal penunjukan atau pengangkatan.
Pasal 17
(1) Dengan ditunjuknya seorang arbiter
atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya
penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara
tertulis, maka antara pihak yang menunjuk dan arbiter yang menerima
penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.
(2) Penunjukan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1), mengakibatkan bahwa arbiter atau para arbiter akan memberikan
putusannya secara jujur, adil, dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dan para pihak akan menerima putusannya secara final dan mengikat seperti
yang telah diperjanjikan bersama.
Pasal 18
(1) Seorang calon arbiter yang diminta oleh
salah satu pihak untuk duduk dalam majelis arbitrase, wajib memberitahukan
kepada para pihak tentang hal yang mungkin akan mempengaruhi kebebasannya
atau menimbulkan keberpihakan putusan yang akan diberikan.
(2) Seseorang yang menerima penunjukan sebagai
arbiter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberitahukan kepada para
pihak mengenai penunjukannya.
Pasal 19
(1) Dalam hal arbiter telah menyatakan
menerima penunjukan atau pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
maka yang bersangkutan tidak dapat menarik diri, kecuali atas persetujuan
para pihak.
(2) Dalam hal arbiter sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) yang telah menerima penunjukan atau pengangkatan,
menyatakan menarik diri, maka yang bersangkutan wajib mengajukan
permohonan secara tertulis kepada para pihak.
(3) Dalam hal para pihak dapat
menyetujui permohonan penarikan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka yang bersangkutan, dapat dibebaskan dari tugas sebagai arbiter.
(4) Dalam hal permohonan penarikan diri
tidak mendapat persetujuan para pihak, pembebasan tugas arbiter ditetapkan
oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 20
Dalam hal arbiter atau majelis arbitrase
tanpa alasan yang sah tidak memberikan putusan dalam jangka waktu yang
telah ditentukan, arbiter dapat dihukum untuk mengganti biaya dan kerugian
yang diakibatkan karena kelambatan tersebut kepada para pihak.
Pasal 21
Arbiter atau majelis arbitrase tidak
dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil
selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai
arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad
tidak baik dari tindakan tersebut.
Bagian
Ketiga Hak Ingkar
Ketiga Hak Ingkar
Pasal 22
(1) Terhadap arbiter dapat diajukan tuntutan
ingkar apabila terdapat cukup alasan dan cukup bukti otentik yang
menimbulkan keraguan bahwa arbiter akan melakukan tugasnya tidak secara
bebas dan akan berpihak dalam mengambil putusan.
(2) Tuntutan ingkar terhadap seorang arbiter
dapat pula dilaksanakan apabila terbukti adanya hubungan kekeluargaan,
keuangan atau pekerjaan dengan salah satu pihak atau kuasanya.
Pasal 23
(1) Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat
oleh Ketua Pengadilan Negeri diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
(2) Hak ingkar terhadap arbiter tunggal diajukan
kepada arbiter yang bersangkutan.
(3) Hak ingkar terhadap anggota majelis arbitrase
diajukan kepada majelis arbitrase yang bersangkutan.
Pasal 24
(1) Arbiter yang diangkat tidak dengan
penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang baru
diketahui pihak yang mempergunakan hak ingkarnya setelah pengangkatan
arbiter yang bersangkutan.
(2) Arbiter yang diangkat dengan
penetapan pengadilan, hanya dapat diingkari berdasarkan alasan yang diketahuinya
setelah adanya penerimaan penetapan pengadilan tersebut.
(3) Pihak yang berkeberatan terhadap
penunjukan seorang arbiter yang dilakukan oleh pihak lain, harus
mengajukan tuntutan ingkar dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
sejak pengangkatan.
(4) Dalam hal alasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) diketahui kemudian, tuntutan ingkar harus
diajukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak diketahuinya
hal tersebut.
(5) Tuntutan ingkar harus diajukan secara tertulis, baik
kepada pihak lain maupun kepada pihak arbiter yang bersangkutan
dengan menyebutkan alasan tuntutannya.
(6) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan
oleh salah satu pihak disetujui oleh pihak lain, arbiter yang bersangkutan
harus mengundurkan diri dan seorang arbiter pengganti akan ditunjuk sesuai
dengan
cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
cara yang ditentukan dalam Undang-undang ini.
Pasal 25
(1) Dalam hal tuntutan ingkar yang diajukan
oleh salah satu pihak tidak disetujui oleh pihak lain dan arbiter yang
bersangkutan tidak bersedia mengundurkan diri, pihak yang berkepentingan
dapat mengajukan tuntutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang putusannya
mengikat kedua pihak, dan tidak dapat diajukan perlawanan.
(2) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri
memutuskan bahwa tuntutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) beralasan,
seorang arbiter pengganti harus diangkat dengan cara sebagaimana yang
berlaku untuk pengangkatan arbiter yang digantikan.
(3) Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri
menolak tuntutan ingkar, arbiter melanjutkan tugasnya.
Pasal 26
(1) Wewenang arbiter tidak dapat dibatalkan
dengan meninggalnya arbiter dan wewenang tersebut selanjutnya dilanjutkan
oleh penggantinya yang kemudian diangkat sesuai dengan Undang-undang ini.
(2) Arbiter dapat dibebastugaskan bilamana
terbukti berpihak atau menunjukkan sikap tercela yang harus dibuktikan
melalui jalur hukum.
(3) Dalam hal selama pemeriksaan sengketa
berlangsung, arbiter meninggal dunia, tidak mampu, atau mengundurkan diri,
sehingga tidak dapat melaksanakan kewajibannya, seorang arbiter pengganti
akan diangkat dengan cara sebagaimana yang berlaku bagi pengangkatan
arbiter yang bersangkutan.
(4) Dalam hal seorang arbiter tunggal atau
ketua majelis arbitrase diganti, semua pemeriksaan yang telah diadakan
harus diulang kembali.
(5) Dalam hal anggota majelis yang
diganti, pemeriksaan sengketa hanya diulang kembali secara tertib antar
arbiter.
BAB
IV ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE
IV ACARA YANG BERLAKU DIHADAPAN MAJELIS ARBITRASE
Bagian
Pertama Acara Arbitrase
Pertama Acara Arbitrase
Pasal 27
Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau
majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.
Pasal 28
Bahasa yang digunakan dalam semua proses
arbitrase adalah bahasa Indonesia, kecuali atas persetujuan arbiter atau
majelis arbitrase para pihak dapat memilih bahasa lain yang akan
digunakan.
Pasal 29
(1) Para pihak yang bersengketa mempunyai hak
dan kesempatan yang sama dalam mengemukakan pendapat masing-masing.
(2) Para pihak yang bersengketa dapat diwakili
oleh kuasanya dengan surat kuasa khusus.
Pasal 30
Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase
dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, apabila terdapat unsur kepentingan yang
terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa
serta disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang memeriksa sengketa
yang bersangkutan.
Pasal 31
(1) Para pihak dalam suatu perjanjian yang
tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan
dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam
Undang-undang ini.
Undang-undang ini.
(2) Dalam hal para pihak tidak menentukan
sendiri ketentuan mengenai acara arbitrase yang akan digunakan
dalam pemeriksaan, dan arbiter atau majelis arbitrase telah terbentuk
sesuai dengan Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, semua sengketa yang penyelesaiannya diserahkan
kepada arbiter atau majelis arbitrase akan diperiksa dan diputus menurut
ketentuan dalam Undang-undang ini.
(3) Dalam hal para pihak telah memilih
acara arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus ada kesepakatan
mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan
apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau
majelis arbitrase yang akan menentukan.
Pasal 32
(1) Atas permohonan salah satu pihak, arbiter
atau majelis arbitrase dapat mengambil putusan provisionil atau putusan
sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa
termasuk penetapan sita jaminan, memerintahkan penitipan barang kepada
pihak ketiga, atau menjual barang yang mudah rusak.
(2) Jangka waktu pelaksanaan putusan
provisionil atau putusan sela lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak dihitung dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
Pasal 33
Arbiter atau majelis arbitrase berwenang
untuk memperpanjang jangka waktu tugasnya apabila :
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak
mengenai hal khusus tertentu;
b. sebagai akibat ditetapkan putusan
provisionil atau putusan sela lainnya; atau
c. dianggap perlu oleh arbiter atau majelis
arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.
Pasal 34
(1) Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
dapat dilakukan dengan menggunakan lembaga arbitrase nasional atau
internasional berdasarkan kesepakatan para pihak.
(2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga
arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut peraturan
dan acara dari lembaga yang dipilih, kecuali ditetapkan lain oleh para
pihak.
Pasal 35
Arbiter atau majelis arbitrase dapat
memerintahkan agar setiap dokumen atau bukti disertai dengan terjemahan ke
dalam bahasa yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 36
(1) Pemeriksaan sengketa dalam arbitrase harus
dilakukan secara tertulis.
(2) Pemeriksaan secara lisan dapat dilakukan
apabila disetujui para pihak atau dianggap perlu oleh arbiter atau majelis
arbitrase.
Pasal 37
(1) Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter
atau majelis arbitrase, kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
(2) Arbiter atau majelis arbitrase dapat
mendengar keterangan saksi atau mengadakan pertemuan yang dianggap perlu
pada tempat tertentu diluar tempat arbitrase diadakan.
(3) Pemeriksaan saksi dan saksi ahli
dihadapan arbiter atau majelis arbitrase, diselenggarakan menurut
ketentuan dalam hukum acara perdata.
(4) Arbiter atau majelis arbitrase dapat
mengadakan pemeriksaan setempat atas barang yang dipersengketakan atau hal
lain yang berhubungan dengan sengketa yang sedang diperiksa, dan dalam hal
dianggap perlu, para pihak akan dipanggil secara sah agar dapat juga hadir
dalam pemeriksaan tersebut.
Pasal 38
(1) Dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
arbiter atau majelis arbitrase, pemohon harus menyampaikan surat
tuntutannya kepada arbiter atau majelis arbitrase.
(2) Surat tuntutan tersebut harus
memuat sekurang-kurangnya :
a. nama lengkap dan tempat tinggal atau
tempat kedudukan para pihak;
b. uraian singkat tentang sengketa disertai
dengan lampiran bukti-bukti; dan isi tuntutan yang jelas.
Pasal 39
Setelah menerima surat tuntutan dari
pemohon, arbiter atau ketua majelis arbitrase menyampaikan satu salinan
tuntutan tersebut kepada termohon dengan disertai perintah bahwa termohon
harus menanggapi dan memberikan jawabannya secara tertulis dalam waktu
paling lama 14 ( empat belas ) hari sejak diterimanya salinan tuntutan
tersebut oleh termohon.
Pasal 40
(1) Segera setelah diterimanya jawaban
dari termohon atas perintah arbiter atau ketua majelis arbitrase, salinan
jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon.
(2) Bersamaan dengan itu, arbiter atau
ketua majelis arbitrase memerintahkan agar para pihak atau kuasa mereka
menghadap di muka sidang arbitrase yang ditetapkan paling lama 14 (empat
belas) hari terhitung mulai hari dikeluarkannya perintah itu.
Pasal 41
Dalam hal termohon setelah lewat 14 (empat
belas) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 tidak menyampaikan
jawabannya, termohon akan dipanggil dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2).
Pasal 42
(1) Dalam jawabannya atau selambat-lambatnya
pada sidang pertama, termohon dapat mengajukan tuntutan balasan dan
terhadap tuntutan balasan tersebut pemohon diberi kesempatan untuk
menanggapi.
(2) Tuntutan balasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), diperiksa dan diputus oleh arbiter atau majelis
arbitrase bersama-sama dengan pokok sengketa.
Pasal 43
Apabila pada hari yang ditentukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) pemohon tanpa suatu alasan
yang sah tidak datang menghadap, sedangkan telah dipanggil secara patut,
surat tuntutannya dinyatakan gugur dan tugas arbiter atau majelis
arbitrase dianggap selesai.
Pasal 44
(1) Apabila pada hari yang telah
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2), termohon tanpa
suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah
dipanggil secara patut, arbiter atau majelis arbitrase segera melakukan
pemanggilan sekali lagi.
(2) Paling lama 10 (sepuluh) hari
setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon
juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan
diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan
seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan
hukum.
Pasal 45
(1) Dalam hal para pihak datang menghadap pada
hari yang telah ditetapkan, arbiter atau majelis arbitrase terlebih
dahulu mengusahakan perdamaian antara para pihak yang bersengketa.
(2) Dalam hal usaha perdamaian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tercapai, maka arbiter atau majelis arbitrase
membuat suatu akta perdamaian yang final dan mengikat para pihak dan
memerintahkan para pihak untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut.
Pasal 46
(1) Pemeriksaan terhadap pokok sengketa
dilanjutkan apabila usaha perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ayat (1) tidak berhasil.
(2) Para pihak diberi kesempatan terakhir
kali untuk menjelaskan secara tertulis pendirian masing-masing serta
mengajukan bukti yang dianggap perlu untuk menguatkan pendiriannya dalam
jangka waktu yang ditetapkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase berhak
meminta kepada para pihak untuk mengajukan penjelasan tambahan secara
tertulis, dokumen atau bukti lainnya yang dianggap perlu dalam jangka waktu
yang ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 47
(1) Sebelum ada jawaban dari termohon,
pemohon dapat mencabut surat permohonan untuk menyelesaikan sengketa
melalui arbitrase.
(2) Dalam hal sudah ada jawaban dari
termohon, perubahan atau penambahan surat tuntutan hanya diperbolehkan
dengan persetujuan termohon dan sepanjang perubahan atau penambahan itu
menyangkut hal-hal yang bersifat fakta saja dan tidak menyangkut
dasar-dasar hukum yang menjadi dasar permohonan.
Pasal 48
(1) Pemeriksaan atas sengketa harus
diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk.
(2) Dengan persetujuan para pihak dan
apabila diperlukan sesuai ketentuan Pasal 33, jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang.
Bagian
Kedua Saksi dan Saksi Ahli
Kedua Saksi dan Saksi Ahli
Pasal 49
(1) Atas perintah arbiter atau majelis
arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil seorang saksi
atau lebih atau seorang saksi ahli atau lebih, untuk didengar keterangannya.
(2) Biaya pemanggilan dan perjalanan saksi
atau saksi ahli dibebankan kepada pihak yang meminta.
(3) Sebelum memberikan keterangan, para saksi
atau saksi ahli wajib mengucapkan sumpah.
Pasal 50
(1) Arbiter atau majelis arbitrase dapat
meminta bantuan seorang atau lebih saksi ahli untuk memberikan keterangan
tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok
sengketa.
(2) Para pihak wajib memberikan segala
keterangan yang diperlukan oleh para saksi ahli.
(3) Arbiter atau majelis arbitrase
meneruskan salinan keterangan saksi ahli tersebut kepada para pihak agar
dapat ditanggapi secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
(4) Apabila terdapat hal yang kurang jelas,
atas permintaan para pihak yang berkepentingan, saksi ahli yang
bersangkutan dapat didengar keterangannya di muka sidang arbitrase dengan
dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
Pasal 51
Terhadap kegiatan dalam pemeriksaan dan
sidang arbitrase dibuat berita acara pemeriksaan oleh sekretaris.
BAB V
PENDAPAT DAN PUTUSAN
ARBITRASE
Pasal 52
Para pihak dalam suatu perjanjian berhak
untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan
hukum tertentu dari suatu perjanjian.
Pasal 53
Terhadap pendapat yang mengikat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 tidak dapat dilakukan perlawanan
melalui upaya hukum apapun.
Pasal 54
(1) Putusan arbitrase harus memuat :
a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau
majelis arbitrase mengenai keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal
terdapat perbedaan pendapat dalam majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis
arbitrase.
(2) Tidak ditandatanganinya putusan arbitrase
oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia
tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan.
(3) Alasan tentang tidak adanya tanda
tangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dicantumkan dalam
putusan.
(4) Dalam putusan ditetapkan suatu jangka
waktu putusan tersebut harus dilaksanakan.
Pasal 55
Apabila pemeriksaan sengketa telah selesai,
pemeriksaan segera ditutup dan ditetapkan hari sidang untuk mengucapkan
putusan arbitrase.
Pasal 56
(1) Arbiter atau majelis arbitrase
mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum, atau berdasarkan keadilan
dan kepatutan.
(2) Para pihak berhak menentukan pilihan hukum
yang akan berlaku terhadap penyelesaian sengketa yang mungkin atau telah
timbul
antara para pihak.
antara para pihak.
Pasal 57
Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup.
Pasal 58
Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah
putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan kepada
arbiter atau majelis arbitrase untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan
administratif dan atau menambah atau mengurangi sesuatu tuntutan putusan.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Bagian
Pertama Arbitrase Nasional
Pertama Arbitrase Nasional
Pasal 59
(1) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau
kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan
pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh Panitera Pengadilan Negeri
dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan
akta pendaftaran.
(3) Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan
putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan
otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(4) Tidak dipenuhinya ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak
dapat dilaksanakan.
(5) Semua biaya yang berhubungan dengan
pembuatan akta pendaftaran dibebankan kepada para pihak.
Pasal 60
Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Pasal 61
Dalam hal para pihak tidak melaksanakan
putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan
perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang
bersengketa.
Pasal 62
(1) Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah
permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri.
(2) Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa
terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan
Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
(3) Dalam hal putusan arbitrase tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan
Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua
Pengadilan Negeri tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun.
(4) Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa
alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.
Pasal 63
Perintah Ketua Pengadilan Negeri ditulis
pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan.
Pasal 64
Putusan arbitrase yang telah dibubuhi
perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai ketentuan
pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Bagian
Kedua Arbitrase Internasional
Kedua Arbitrase Internasional
Pasal 65
Yang berwenang menangani masalah pengakuan
dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Pasal 66
Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Putusan Arbitrase Internasional
dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan
negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase
Internasional;
b. Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut
ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
c. Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia
terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
d. Putusan Arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
e. Putusan Arbitrase Internasional
sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik
Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya
dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
Pasal 67
(1) Permohonan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan
didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat.
(2) Penyampaian berkas permohonan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus disertai dengan :
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan
Arbitrase Internasional, sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen
asing, dan naskah terjemahan resminya dalam Bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik
perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai
ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan
resminya dalam bahasa Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik
Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional
tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada
perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara
Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan
Arbitrase Internasional.
Pasal 68
(1) Terhadap putusan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang
mengakui dan melaksanakan Putusan Arbitrase Internasional, tidak dapat
diajukan banding atau kasasi.
(2) Terhadap putusan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf d yang
menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu Putusan Arbitrase
Internasional, dapat diajukan kasasi.
(3) Mahkamah Agung mempertimbangkan
serta memutuskan setiap pengajuan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah
permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung.
(4) Terhadap putusan Mahkamah Agung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan
upaya perlawanan.
Pasal 69
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64,
maka pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang secara relatif berwenang melaksanakannya.
(2) Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan
serta barang milik termohon eksekusi.
(3) Tata cara penyitaan serta pelaksanaan
putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara
Perdata.
BAB VII
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
Pasal 70
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan
palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 71
Permohonan pembatalan putusan arbitrase
harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Pasal 72
(1) Permohonan pembatalan putusan arbitrase
harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Apabila permohonan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut
akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase.
(3) Putusan atas permohonan pembatalan
ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat
diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat
pertama dan terakhir.
(5) Mahkamah Agung mempertimbangkan
serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4)
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding
tersebut diterima
oleh Mahkamah Agung.
oleh Mahkamah Agung.
BAB VIII
BERAKHIRNYA TUGAS ARBITER
Pasal 73
Tugas arbiter berakhir karena :
a. putusan mengenai sengketa telah diambil;
b. jangka waktu yang telah ditentukan dalam
perjanjian arbitrase atau sesudah diperpanjang oleh para pihak telah
lampau; atau
c. para pihak sepakat untuk menarik kembali
penunjukan arbiter.
Pasal 74
(1) Meninggalnya salah satu pihak
tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada arbiter berakhir.
(2) Jangka waktu tugas arbiter sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 48 ditunda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
meninggalnya salah satu pihak.
Pasal 75
(1) Dalam hal arbiter meninggal
dunia, dikabulkannya tuntutan ingkar atau pemberhentian seorang atau lebih
arbiter, para pihak harus mengangkat arbiter pengganti.
(2) Apabila para pihak dalam waktu paling lama
30 (tiga puluh) hari tidak mencapai kesepakatan mengenai pengangkatan
arbiter pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Ketua
Pengadilan Negeri atas permintaan dari pihak yang berkepentingan,
mengangkat seorang atau lebih arbiter pengganti.
(3) Arbiter pengganti bertugas
melanjutkan penyelesaian sengketa yang bersangkutan berdasarkan kesimpulan
terakhir yang telah diadakan.
BAB IX
BIAYA ARBITRASE
Pasal 76
(1) Arbiter menentukan biaya arbitrase.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi :
a. honorarium arbiter;
b. biaya perjalanan dan biaya lainnya yang
dikeluarkan oleh arbiter;
c. biaya saksi dan atau saksi ahli yang
diperlukan dalam pemeriksaan sengketa; dan
d. biaya administrasi.
Pasal 77
(1) Biaya arbitrase dibebankan kepada pihak
yang kalah.
(2) Dalam hal tuntutan hanya dikabulkan
sebagian, biaya arbitrase dibebankan kepada para pihak secara seimbang.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 78
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini
mulai berlaku sudah diajukan kepada arbiter atau lembaga arbitrase tetapi
belum dilakukan pemeriksaan, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan
Undang-undang
ini.
ini.
Pasal 79
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini
mulai berlaku sudah diperiksa tetapi belum diputus, tetap diperiksa dan
diputus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama.
Pasal 80
Sengketa yang pada saat Undang-undang ini
mulai berlaku sudah diputus dan putusannya telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada saat Undang-undang ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615
sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia
Yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad
1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan
Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
Staatsblad 1927:227), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 82
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang- undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus
1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1999 NOMOR 138
PENJELASAN
ATAS
UNDANG – UNDANG REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF
PENYELESAIAN SENGKETA
UMUM
Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang–undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Hal tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan
asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara yang
masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.
Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui
arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai
kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.
Selama ini yang dipakai sebagai dasar
pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal
651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering,
Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang
Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan
Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara
lain :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b. dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang
menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum
untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang
mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas
tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan
dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan
arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena
keputusannya tidak dipublikasikan.
Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
Namun demikian penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
Dengan perkembangan dunia usaha dan
perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional
maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan
yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak
sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang
bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non
sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement
op de Rechtvordering).
Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang
mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya
dilaksanakan.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang
ini merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum
yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa.
Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase,
melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat
mereka.
Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan
sampai penyelesaian sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut.
Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para
pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses
penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding
kasasi maupun peninjauan kembali.
Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh,
maka Undang -undang ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas
arbitrase nasional maupun internasional.
Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan
pelaksanaan putusan sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini
dapat dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut
masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara sistem
hukum dibenarkan.
Bab VII mengatur tentang pembatalan
putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan
palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen
yang bersifat menentukan yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat
yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Permohonan pembatalan putusan arbitrase
diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan
Negeri tersebut hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung
yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
Selanjutnya pada Bab VIII diatur
tentang berakhirnya tugas arbiter, yang dinyatakan antara lain bahwa tugas
arbiter berakhir karena jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua
belah pihak sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya
salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan kepada
arbiter berakhir.
Bab IX dari Undang-undang ini mengatur
mengenai biaya arbitrase yang ditentukan oleh arbiter.
Bab X dari Undang-undang ini mengatur
mengenai ketentuan peralihan terhadap sengketa yang sudah diajukan namun
belum diproses, sengketa yang sedang dalam proses atau yang
sudah diputuskan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa
dengan berlakunya Undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651
Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het
Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705
Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Yang dimaksud dengan “novasi” adalah
pembaharuan utang.
huruf d
Yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah
keadaan tidak mampu membayar.
huruf e
Cukup jelas
huruf f
Cukup jelas
huruf g
Cukup jelas
huruf h
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam
ayat ini menjadi arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya obyektivitas
dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis
arbitrase.
Pasal 13
Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan
bahwa dalam praktek akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di
dalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang
acara yang harus ditempuh dalam
pengangkatan arbiter.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah memperhitungkan
adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak ingkar.
Namun apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para pihak, maka para
pihak dianggap telah sepakat untuk tidak menggunakan hak ingkar berdasarkan
fakta-fakta yang mereka ketahui ketika mengangkat arbiter tersebut. Namun
ini tidak menutup kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang
tidak diketahui sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak
untuk mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan
ingkar dan jangka waktunya.
Jangka waktu ini dipandang perlu agar tidak
sewaktu-waktu dapat dihambat dengan adanya tuntutan ingkar.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan
ingkar mengikat kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan
tidak ada upaya perlawanan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang
diganti, pemeriksaan dapat diteruskan berdasarkan berita acara dan surat
yang ada, cukup oleh para arbiter yang ada.
Pasal 27
Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara
tertutup adalah menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di
Pengadilan Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk
lebih menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara
perdata, diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa
dengan surat kuasa yang bersifat khusus.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan
jangka waktu yang dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak membuat sesuatu
ketentuan tentang hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan
menentukan.
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hal khusus tertentu”
misalnya karena adanya gugatan antara atau gugatan insidentil di luar
pokok sengketa seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Perdata.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak
untuk memilih peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian
sengketa antara mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari
lembaga arbitrase yang dipilih.
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara
tertulis. Jika ada persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan
secara lisan.
Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50, dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh
arbiter atau majelis
arbitrase.
arbitrase.
Pasal 37
Ayat (1)
Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah
penting terutama apabila terdapat unsur hukum asing dan sengketa menjadi
suatu sengketa hukum perdata internasional. Seperti lazimnya tempat
arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus dipergunakan
untuk memeriksa sengketa tersebut jika para pihak tidak menentukan sendiri
maka arbiter yang dapat menentukan tempat arbitrase.
Ayat (2)
Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk
mendengar saksi di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain
berhubung dengan tempat tinggal saksi bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran.
Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran.
Huruf c
Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa uang, harus disebutkan
jumlahnya yang pasti.
Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa uang, harus disebutkan
jumlahnya yang pasti.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi
yang diajukan oleh pihak
termohon.
termohon.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa
menjadi gugur apabila pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan
pertama.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan
puluh) hari sebagai jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa
bersangkutan melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu
penyelesaian pemeriksaan arbitrase.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga
arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam
suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding
opinion) mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian
tersebut. Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas,
penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan timbulnya
keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga
arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak
yang bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar
perjanjian.
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan
perjanjian untuk menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib
berdasarkan ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan
(ex aequo et bono).
Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk
memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan
perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal tertentu,
hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat
disimpangi oleh arbiter.
Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk
memberikan putusan berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya
dapat memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana
dilakukan oleh hakim.
Ayat (2)
Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan
untuk menentukan hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase.
Apabila para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan
adalah hukum tempat arbitrase dilakukan.
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Yang dimaksud dengan “koreksi terhadap
kekeliruan administratif” adalah koreksi terhadap hal-hal seperti
kesalahan pengetikan ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para
pihak atau arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi putusan.
Yang dimaksud dengan “menambah atau
mengurangi tuntutan” adalah salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan
terhadap putusan apabila putusan, antara lain:
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut
oleh pihak lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta
untuk diputus;
atau
atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang
bertentangan satu sama lainnya.
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Putusan arbitrase merupakan putusan final
dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan
kembali.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) Tidak diperiksanya alasan atau
pertimbangan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri agar putusan
arbitrase tersebut benar-benar mandiri, final, dan mengikat.
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang :
Yang dimaksud dengan “ruang lingkup hukum perdagangan” adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang :
- perniagaan;
- perbankan;
- keuangan;
- penanaman modal;
- industri;
- hak kekayaan intelektual.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).
Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk perintah pelaksanaan (eksekuatur).
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan
terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan
putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau
menolak permohonan.
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk
memeriksa tuntutan pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur
akibat dari pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase
bersangkutan.
Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa
setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan
memeriksa kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa
tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “banding” adalah hanya
terhadap pembatalan putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 73
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
3872