Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, Setara
Institute, Elsam, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Konfederasi
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) secara tegas menolak RUU
Ormasyang rencananya akan disahkan, Selasa (25/6).Menurut direktur
eksekutif Imparsial, Poengky Indarti, jika pekan depan RUU Ormas
disahkan sebagaimana direncanakan, koalisi menilai DPR telah mengabaikan
suara rakyat. Pasalnya, koalisi sudah berkali-kali menyatakan berbagai
hal yang menjadi keberatan atas RUU Ormas, tapi sayangnya tidak
digubris.
Menurut Poengky, RUU Ormas merupakan titik balik demokrasi yang mulai
tumbuh di Indonesia sejak reformasi. Pasalnya, ketentuan dalam RUU Ormas
cenderung membatasi dan mempersulit kegiatan berserikat yang dilakukan
masyarakat sipil. Pada awalnya, Poengky melihat salah satu dalih yang
digulirkan pemerintah dan DPR untuk menerbitkan RUU Ormas adalah
mencegah terjadinya tindak kekerasan yang kerap dilakukan ormas
tertentu.
Namun, dalam RUU Ormas, ketentuan yang mengarah untuk mencegah dan
menindak ormas yang sering melakukan tindak kekerasan tidak tampak.
Menurut Poengky yang terlihat malah tingginya kendali negara yang
terlalu jauh dalam kehidupan berserikat masyarakat. “Pemerintah dan DPR
mestinya mendengarkan suara rakyat, tapi mereka tidak mendengar,”
katanya dalam jumpa pers di kantor Imparsial Jakarta, Jumat (21/6).
Pada kesempatan yang sama Direktur Program Imparsial, Al Araf,
mengatakan koalisi masih teguh pada pandangannya melihat RUU Ormas tidak
penting sebagai regulasi untuk mengatur kegiatan berserikat dan
berorganisasi masyarakat. Menurutnya, ruh dari RUU Ormas tak ubahnya
seperti UU No.8 Tahun 1985 tentang Ormas, ketentuan yang termaktub
mengarah kepada represi terhadap kebebasan masyarakat sipil. Walau
begitu Al menegaskan bukan berarti organisasi masyarakat sipil menolak
untuk diatur. “Pengaturannya harus mengacu kerangka hukum yang tepat
yaitu ormas diatur lewat UU Perkumpulan, UU Yayasan atau bahkan UU
Koperasi,” tegasnya.
Kendali pemerintah terhadap ruang gerak masyarakat sipil dalam RUU
Ormas menurut Al akan dilakukan lewat politik pendaftaran dan pembekuan
atau pembubaran. Apalagi di dalam RUU Ormas banyak pasal karet yang
bakal menimbulkan persoalan di tataran implementasi. Misalnya,
organisasi anti korupsi yang menyuarakan penindakan terhadap pejabat
publik yang terlibat korupsi, dapat dianggap mengganggu kedaulatan
negara.
Selaras dengan itu, mengingat organisasi non pemerintahan dan serikat
pekerja menolak pengesahan RUU Ormas, DPR harusnya bercermin dan tidak
mengesahkannya. Jika terbukti pada Selasa (21/6) RUU Ormas diketok palu
di sidang paripurna, maka dapat dikatakan DPR tidak mewakili kepentingan
rakyat. “Ini menunjukan parlemen tidak merepresentasikan kepentingan
rakyat, tapi kepentingan lain,” tuturnya.
Untuk itu Al mengatakan anggota DPR yang nanti mengesahkan RUU Ormas,
tidak layak lagi dipilih pada Pemilu 2014. Pasalnya, lewat pengesahan
itu anggota-anggota DPR tersebut secara nyata mengabaikan aspirasi
rakyat. Selain melakukan kampanye politik agar masyarakat tidak memilih
anggota-anggota DPR yang mengesahkan RUU Ormas, Al mengatakan koalisi
akan menempuh Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi. Dalam melakukan
kampanye, koalisi akan memperkuat jaringannya sampai ke tingkat daerah,
khususnya di wilayah pemilihan anggota DPR yang bersangkutan.
Sementara, anggota koalisi dari elsam, Wahyudi Djafar, mengatakan
persoalan yang sesungguhnya terjadi bukan berakar pada regulasi, tapi
implementasi. Misalnya, pemerintah ingin menindak ormas yang melanggar
hukum atau melakukan tindak kekerasan, dapat dilakukan dengan
menggunakan peraturan perundang-undangan yang ada sebagai landasan
hukum, salah satunya KUHP. Tanpa sanksi yang setimpal dengan pelanggaran
yang dilakukan, Wahyudi merasa ormas yang bersangkutan akan tetap
melakukan aksi-aksi serupa di kemudian hari.
Begitu pula jika ada ormas yang ditengarai memperoleh dana untuk
melakukan tindakan terorisme, menurut Wahyudi pemerintah dapat melakukan
tindakan dengan berpegangan pada UU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pendanaan Teroris. Oleh karena itu Wahyudi menilai RUU Ormas
sudah tidak diperlukan lagi mengingat ada peraturan perundang-undangan
lainnya yang dapat digunakan untuk mengatur ormas.
Sebagaimana Al, Wahyudi mengatakan koalisi berencana melakukan kampanye
agar masyarakat tidak memilih anggota-anggota DPR yang setuju RUU Ormas
disahkan. Ia mencatat dari 30 anggota Pansus Ormas, 22 orang
diantaranya mencalonkan lagi dirinya pada Pemilu 2014. Untuk itu
kampanye yang akan dilakukan menurut Wahyudi sangat penting memberi
peringatan kepada DPR agar berkomitmen mendengarkan aspirasi rakyat.
“Ini patut menjadi catatan masyarakat atas kinerja dewan yang kita pilih
pada periode lalu,” tukasnya.
Sedangkan anggota koalisi dari Setara Institute, Hendardi, mengatakan
dalam perspektif HAM, berserikat dan berorganisasi itu masuk dalah hak
Sipil Politik (Sipol) yang dijamin konstitusi dan kovenan internasional.
Dalam rangka pemenuhan hak itu, salah satu parameter yang dapat
digunakan adalah sejauh mana pemerintah mencampuri hak Sipol masyarakat.
Menurutnya, semakin minim pemerintah mengintervensi hak Sipol, maka
penghormatan terhadap HAM semakin tinggi.
Namun, dalam RUU Ormas, Hendardi merasa pemerintah bertindak tak
selaras dengan amanat HAM tersebut. Pasalnya, RUU Ormas bakal mengatur
apakah orang dapat berserikat atau tidak. Sekalipun dapat mengatur
kebebasan berserikat, tapi sifatnya terbatas seperti mengelola status
badan hukum organisasi. “Paradigma RUU Ormas bertentangan dengan
paradigma HAM,” urainya.
Sebelumnya, ketua Pansus RUU Ormas, Malik Haramain, mengatakan sudah
berupaya mengakomodir kritikan-kritikan yang dilontarkan sejumlah
organisasi masyarakat sipil. Misalnya, soal asas organisasi, sudah
diubah. Jika dikatakan masih terdapat ketentuan yang sifatnya represif,
Malik menyebut hal tersebut tidak ada lagi. Pasalnya, berbagai ketentuan
yang ditengarai bakal menjadi represif ketika diimplementasikan, sudah
dilihat satu per satu.
Terkait pendaftaran organisasi yang dinilai mempersulit, Malik
menandaskan hal itu sudah direvisi sejak awal. Sekarang, dalam RUU
Ormas, bagi organisasi yang berbadan hukum tidak perlu ke Kemendagri
untuk mendapat SK, tapi ke Kemenkumham. Namun, bagi organisasi yang
tidak berbadan hukum, masih diwajibkan mendapat SKT. Untuk mendapat SKT
menurut Malik cukup mudah, hanya butuh keterangan domisili dari
Kecamatan. “Berbadan hukum hanya ke Kemenkumham, tidak perlu lagi ke
Kemendagri,” katanya kepada wartawan di DPR, Kamis (20/6).