"Karena Tidak dimandatkan Oleh UU TKI"
Anggota Komisi IX fraksi PDIP, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan
Permenakertrans No.6 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pembentukan Perwakilan
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta Di Luar Negeri
(Perwalu) layak dicabut. Pasalnya, UU TKI
tidak mengamanatkan untuk dibentuk Permenakertrans itu. Tapi, dalam
Permenakertrans Perwalu Rieke melihat pada butir menimbang dikatakan
peraturan tersebut dibuat untuk melaksanakan ketentuan pasal 20 UU
PPTKILN.
“Sungguh mengherankan ketika dicek di pasal terkait, tidak ada perintah
untuk membuat peraturan menteri tersebut. Disinyalir aturan dadakan itu
terkait (pemberlakuan,-red) amnesti di Arab Saudi,” katanya dalam
keterangan pers yang diterima hukumonline, Jumat (21/6).
Selengkapnya Pasal 20 UU TKI merumuskan, (1) Untuk mewakili kepentingannya, pelaksana penempatan TKI swasta wajib mempunyai perwakilan di negara TKI ditempatkan. Sementara ayat (2) Pasal yang sama menyatakanPerwakilan
pelaksana penempatan TKI swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus berbadan hukum yang dibentuk berdasarkan peraturan
perundang-undangan di negara tujuan.
Lewat Permenakertrans Perwalu,Rieke melihat sejumlah PJTKI yang
tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI)
dilibatkan dalam proses pemutihan bagi pekerja migran Indonesia di Arab
Saudi. Ia menduga hal itu bersinggungan dengan adanya 80 persen pekerja
migran yang tinggal melebihi batas waktu izin tinggal (overstayer) menginginkan kembali bekerja di Arab Saudi.
Menurut Rieke, kepentingan PJTKI yang terlibat dalam masa amnesti itu
harus dipertanyakan. Pasalnya, para pekerja migran yang statusnya
melebihi batas waktu izin tinggal itu terjadi karena mereka “lari” dari
majikan dan kasusnya selama bertahun-tahun tidak diselesaikan oleh PJTKI
yang melakukan penempatan. Apalagi dalam peraturan masa amnesti yang
ada tidak menyebut keterlibatan PJTKI.
Rieke juga mempertanyakan persyaratan yang diterapkan kepada pekerja
migran yang memanfaatkan masa amnesti untuk tetap bekerja di Arab Saudi.
Sebab, ia mendapat selebaran yang kabarnya marak beredar di KBRI Riyadh
dan KJRI Jeddah. Salah satu isi selebaran yang dibuat tim APJATI itu
mencantumkan sejumlah biaya kepada pekerja migran. Yaitu sebesar 3.900
real untuk asuransi 6 bulan, penerbitan paspor asli dan PK. Sementara
biaya biro jasa proses di imigrasi Arab Saudi dipatok 1.700 real dan
ditambah biaya-biaya keimigrasian.
Padahal, jika mengikuti biaya resmi sesuai peraturan yang berlaku Rieke
menghitung jumlahnya sekitar 550 real. Total biaya itu meliputi
pengurusan paspor baru 50 real, paspor hilang 75 real, asuransi di Arab
Saudi 400 real dan legalisasi perjanjian kerja 25 real. Jika jumlah
pekerja migran yang terdaftar mengajukan dokumen sebanyak 72 ribu orang
dan 80 persen diantaranya ingin bekerja kembali maka sekitar 57.600
orang mengurus dokumen untuk bekerja.
Rieke berpendapat jika biaya yang dikenakan kepada pekerja migran
sebagaimana selebaran APJATI 5.600 real dan dikalikan 57.600 orang,
terkumpul dana sebesar 322,56 juta real atau sekitar AS$86 juta. Dari
informasi yang diperoleh Rieke, PJTKI mendapat “jatah” untuk setiap
dokumen pekerja migran sebesar AS$750. Jika “jatah” itu dikalikan
57.600 orang pekerja migran yang mengurus dokumen untuk bekerja kembali
di Arab Saudi, maka dana yang terkumpul AS$43,2 juta.
Walau begitu Rieke tidak mengklaim data yang diperolehnya itu benar
seratus persen. Lewat data tersebut Rieke meminta pemerintah untuk
mengklarifikasi. Namun, pemerintah sudah seharusnya melakukan pencegahan
atas potensi terjadinya korupsi dalam pengelolaan masa amnesti di Arab
Saudi. Pasalnya, mengacu pelayanan dokumen pada masa amnesti beberapa
tahun lalu di Malaysia, terdapat kasus korupsi yang berhasil dibongkar.
Atas dasar itu Rieke merekomendasikan agar Presiden SBY segera mencabut
Permenakertrans Perwalu karena peraturan tersebut tidak memiliki payung
hukum yang jelas. Ia juga mengingatkan kebijakan moratorium pekerja
migran sektor domestik ke Arab Saudi masih berlaku. Selaras pemerintah
dituntut mendata secara jelas para pekerja migran yang overstayer
dan diupayakan untuk dipulangkan ke tanah air. Selain itu
Permenakertrans Perwalu terindikasi kuat menjadi alat "legalisasi
pemerasan terhadap TKI oleh oknum pemerintah."
“Jangan sampai amnesti di Arab Saudi dijadikan alat untuk "memandulkan"
moratorium. Pengiriman TKI dari Indonesia ke Arab Saudi menurun, tapi
amnesti dijadikan jalan perekrutan TKI yang sebetulnya sudah terbukti
memiliki masalah dokumen,” tegas Rieke.
Sebelumnya, dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR dengan Kemenlu,
Kemenkumham, Kemenakertrans dan Kemenag pada Selasa (18/6), membahas
persoalan masa amnesti di Arab Saudi. Pada kesempatan itu Rieke
menginginkan agar pencabutan Permenakertrans Perwalu dicantumkan dalam
kesimpulan rapat kerja tersebut. Namun, pimpinan rapat kerja, Ribka
Tjiptaning, mengatakan mengingat Menakertrans tidak hadir dalam rapat
itu, maka pencabutan Permenakertrans Perwalu tidak dapat dilakukan
secara langsung. Untuk itu pemerintah direkomendasikan mengevaluasi
peraturan tersebut.
“Komisi IX DPR RI mendesak Kemenakertrans untuk melakukan evaluasi
Permenakertrans No.6 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pembentukan Perwakilan
Pelaksana Penempatan TKI Swasta di Luar Negeri, terkait pungutan biaya
dan pelayanan PPTKIS (PJTKI,-red)di luar negeri,” ucap Ribka membacakan
poin keempat kesimpulan rapat kerja.
Terpisah, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, menegaskan bahwa pelayanan dokumen untuk
pekerja migran yang memanfaatkan masa amnesti di Arab Saudi, gratis.
Baik itu pekerja migran yang mengurus dokumen untuk pulang ke tanah air
atau kembali bekerja di Arab Saudi. Walau begitu ia mengakui terdapat
pihak tertentu yang memanfaatkan kondisi tersebut dan melakukan tindakan
yang merugikan pekerja migran. Seperti penipuan dengan cara meminta
imbalan dalam jumlah tertentu untuk mengurus dokumen yang diajukan
pekerja migran.
Muhaimin mengatakan hal itu semakin jelas ketika dirinya menerima
laporan. Saat mendengar pengaduan itu Muhaimin menyebut ada selebaran
gelap dari pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab melakukan penipuan
dengan dalih mempercepat proses pembuatan dokumen. “Semua prosedur
pelayanan dokumen perbaikan status kerja diberlakukan dengan gratis,”
urainya.
Selaras denan itu Muhaimin mengatakan untuk para pekerja migran
Indonesia di Arab Saudi yang mengurus dokumen perbaikan status menjadi
berdokumen lengkap, hanya wajib melengkapi syarat pengurusan izin kerja
di Arab Saudi. Oleh karenanya, Muhaimin memerintahkan atase tenaga kerja
di KJRI Jeddah dan KBRI Riyadh, Arab Saudi untuk mensosialisasikan hal
tersebut kepada seluruh pekerja migran. Serta mengambil langkah
pencegahan untuk menangkal upaya penipuan.
Terkait biaya sebesar 3,900 real untuk izin kerja di Arab Saudi,
Muhaimin menjamin biaya itu dibayar oleh pengguna jasa pekerja migran.
Jika ditemukan PJTKI yang melakukan pungutan liar dalam mengurus dokumen
perbaikan status kerja, Muhaimin berjanji bertindak tegas. Salah
satunya mencabut izin PJTKI itu.